Skip to Content

Keadilan Restoratif dalam Hukum Islam: Menjawab Kebutuhan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Indonesia

May 19, 2025 by
Keadilan Restoratif dalam Hukum Islam: Menjawab Kebutuhan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Indonesia
Andi Marlina

OPINI-Pada tahun 2022, Indonesia mencatat tonggak penting dalam penegakan hukum terhadap kekerasan seksual melalui pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Undang-undang ini diharapkan menjadi jawaban atas penderitaan para korban yang selama ini luput dari perlindungan hukum yang menyeluruh. Namun, efektivitas undang-undang tersebut tak hanya ditentukan oleh keberadaannya, tetapi juga oleh pendekatan hukum yang digunakan dalam praktik. Di sinilah keadilan restoratif (restorative justice) menemukan relevansinya—dan menariknya, konsep ini tidak asing dalam hukum Islam.

Keadilan restoratif adalah pendekatan hukum yang menitikberatkan pada pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat. Pendekatan ini lebih menekankan pemulihan kerugian korban, pengakuan kesalahan oleh pelaku, dan rekonsiliasi secara adil. Dalam kasus kekerasan seksual, keadilan restoratif sering dianggap tidak memadai karena berpotensi mengurangi efek jera bagi pelaku. Namun, apabila ditinjau dari perspektif maqāṣid al-syarī’ah, pendekatan ini justru bisa menjadi pelengkap, bukan pengganti, keadilan retributif (hukuman pidana).

Dalam hukum Islam, konsep keadilan tidak hanya bermakna penghukuman, tetapi juga pemulihan martabat korban dan penghapusan kemudaratan. Al-Qur'an dalam Surah An-Nisa ayat 135 menekankan pentingnya keadilan yang menyeluruh, bahkan jika menyangkut diri sendiri, keluarga, atau kerabat. Ini menunjukkan bahwa keadilan tidak boleh berhenti pada formalitas hukum, tetapi harus berpihak pada perlindungan yang nyata bagi korban.

Tradisi hukum Islam mengenal mekanisme sulh (rekonsiliasi) yang mengedepankan perbaikan hubungan sosial dan pemulihan luka batin. Dalam konteks kekerasan seksual, sulh bukan berarti memaafkan pelaku begitu saja, tetapi bisa berbentuk penegakan hak-hak korban secara komprehensif, termasuk pemulihan psikologis, kompensasi, dan jaminan tidak terulangnya kekerasan. Ini sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan restoratif kontemporer.

Sayangnya, dalam praktik di Indonesia, korban kekerasan seksual sering mengalami reviktimisasi, baik melalui proses hukum yang panjang, penyidikan yang tidak ramah korban, maupun stigma sosial. Pendekatan keadilan retributif saja sering kali gagal memenuhi rasa keadilan substantif. Di sinilah nilai-nilai hukum Islam dapat memberi inspirasi, terutama dalam mendorong hadirnya sistem hukum yang berorientasi pada korban.

Keadilan restoratif dalam Islam bukan berarti melepas pelaku dari tanggung jawab hukum. Pelaku tetap harus dimintai pertanggungjawaban sesuai kadar perbuatannya. Namun, Islam juga mendorong agar korban tidak hanya menjadi objek penderita, melainkan subjek yang didengar, dipulihkan, dan dihormati hak-haknya. Ini bisa diwujudkan melalui mekanisme pemulihan berbasis komunitas, konsultasi keagamaan, dan dukungan psikososial dengan pendekatan yang humanis dan spiritual.

Penerapan keadilan restoratif dalam kasus kekerasan seksual tentu tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Harus ada batas etis dan hukum yang jelas, serta pengawasan ketat agar pendekatan ini tidak disalahgunakan untuk menekan korban agar "memaafkan" atau berdamai dalam tekanan. Oleh karena itu, integrasi nilai-nilai hukum Islam dalam keadilan restoratif perlu diiringi dengan pendidikan hukum yang adil gender dan penguatan sistem pendampingan korban.

Hukum Islam bukanlah sistem yang kaku. Ia adalah sistem yang hidup, yang senantiasa mengejar maslahat (kebaikan umum) dan mencegah mafsadat (kerusakan sosial). Dalam konteks kekerasan seksual, nilai-nilai Islam tentang penjagaan kehormatan (ḥifẓ al-‘ird), jiwa (ḥifẓ al-nafs), dan akal (ḥifẓ al-‘aql) sangat relevan. Ketiganya adalah bagian dari tujuan utama syariat yang wajib dijaga oleh negara dan masyarakat.

Jika Indonesia serius ingin menegakkan hukum yang berpihak pada korban kekerasan seksual, maka hukum Islam—dengan pendekatan keadilan restoratifnya—dapat menjadi sumber inspirasi etis dan praktis. Tentu saja, dengan pemahaman yang kontekstual, progresif, dan berbasis hak asasi manusia. Inilah saatnya menjadikan hukum Islam bukan hanya warisan, tetapi solusi bagi realitas hukum yang terus berubah.