Skip to Content

Mencari Keadilan dalam Ruang Digital: Refleksi Hukum atas Kasus Pencemaran Nama Baik Bima Yudho Saputro dan UU ITE

May 19, 2025 by
Mencari Keadilan dalam Ruang Digital: Refleksi Hukum atas Kasus Pencemaran Nama Baik Bima Yudho Saputro dan UU ITE
Andi Marlina

OPINI- Tahun 2023 kembali menguji keteguhan komitmen Indonesia terhadap demokrasi dan kebebasan berekspresi. Salah satu ujian terbesarnya datang dari peristiwa viral yang menimpa Bima Yudho Saputro, seorang mahasiswa asal Lampung yang menyuarakan kritik terhadap pembangunan di daerahnya melalui platform digital. Kritik Bima yang diunggah di media sosial—yang menurutnya merupakan bentuk kepedulian—justru dibalas dengan dugaan pencemaran nama baik. Kasus ini menjadi refleksi nyata tentang ambiguitas hukum di ruang digital, terutama dalam penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Kritik Bima viral di TikTok dan Twitter. Ia menyoroti kondisi jalan rusak, pendidikan yang tertinggal, dan tata kelola birokrasi di Provinsi Lampung. Alih-alih mendapat perlindungan sebagai warga negara yang menyampaikan pendapat, Bima justru dilaporkan dengan tuduhan melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE tentang pencemaran nama baik. Hal ini memantik diskusi publik: apakah hukum Indonesia telah gagal membedakan kritik dan hinaan?

​UU ITE, sejak disahkan pada 2008 dan direvisi pada 2016, telah menjadi senjata bermata dua. Di satu sisi, ia melindungi pengguna internet dari kejahatan digital. Namun di sisi lain, pasal-pasal karet seperti pencemaran nama baik kerap digunakan untuk membungkam suara-suara kritis, khususnya terhadap pemerintah. Dalam konteks kasus Bima, muncul pertanyaan mendasar: Apakah hukum kita masih relevan dengan semangat demokrasi digital yang sehat?

Hukum pada hakikatnya hadir untuk melindungi, bukan menindas. Dalam sistem hukum yang demokratis, kebebasan berpendapat adalah pilar utama. Pasal 28E UUD 1945 dengan jelas menjamin hak setiap orang untuk mengeluarkan pendapat, baik secara lisan maupun tulisan. Ketika kritik yang disampaikan secara fakta, meski pedas, dibalas dengan kriminalisasi, maka yang terjadi adalah pembunuhan karakter terhadap partisipasi warga negara.

Kasus Bima menjadi cermin buram penegakan hukum di era digital. Yang diserang bukan hanya konten kritiknya, tetapi juga kebebasan akademik, semangat muda, dan partisipasi warga dalam pembangunan. Sangat ironis jika kritik yang membangun justru dianggap sebagai ancaman, sementara korupsi, ketidakadilan, dan pelayanan publik yang buruk sering kali dibiarkan menjadi norma yang tak tersentuh.

Sebetulnya, dalam berbagai negara demokratis, kritik terhadap pejabat publik bukan hanya dianggap wajar, tetapi dilindungi oleh hukum. Di Amerika Serikat, misalnya, Mahkamah Agung telah berkali-kali menegaskan bahwa pejabat publik harus memiliki toleransi lebih besar terhadap kritik. Mengapa? Karena mereka menjalankan fungsi yang berdampak luas dan menerima mandat dari rakyat. Pejabat bukan sosok sakral yang tak boleh disentuh kritik.

Sayangnya, di Indonesia, pendekatan hukum terhadap ujaran di dunia maya masih lebih represif daripada edukatif. Bahkan setelah revisi UU ITE, pasal-pasal karet tetap dibiarkan hidup. Kasus-kasus serupa seperti yang menimpa Baiq Nuril, Jerinx SID, dan sekarang Bima Yudho menunjukkan bahwa hukum sering kali menjadi alat kekuasaan, bukan penyeimbangnya.

​Di titik inilah reformasi hukum digital menjadi kebutuhan mendesak. Pemerintah dan DPR perlu melakukan revisi menyeluruh terhadap UU ITE, bukan sekadar kosmetik hukum. Pasal-pasal yang multitafsir seperti pencemaran nama baik, penghinaan, dan ujaran kebencian harus dikaji ulang agar tidak digunakan untuk mengkriminalisasi warga negara yang aktif menyampaikan kritik.

​Lebih jauh, kasus ini juga menantang kalangan akademisi, tokoh agama, dan masyarakat sipil untuk membangun budaya hukum digital yang sehat—budaya yang menghormati perbedaan pendapat, mengedepankan edukasi literasi digital, dan tidak terburu-buru menyeret orang ke ranah pidana hanya karena merasa tersinggung.

​Hukum harus menjadi ruang dialog, bukan palu pemukul. Kritik dari rakyat, termasuk dari Bima Yudho, harus dipandang sebagai bentuk cinta terhadap tanah air, bukan ujaran kebencian. Sebab bangsa yang besar bukanlah bangsa yang bebas dari kritik, tetapi bangsa yang bisa belajar dari kritik untuk tumbuh dan memperbaiki diri.

Mencari keadilan dalam ruang digital adalah perjuangan yang tidak ringan. Tetapi selama masih ada suara yang bersuara, seperti Bima Yudho dan para pembela kebebasan berpendapat lainnya, kita masih punya harapan. Harapan bahwa suatu saat nanti, hukum benar-benar berdiri untuk rakyat—bukan hanya untuk penguasa.