Skip to Content

Pahlawan Tanpa Perlindungan: Mengapa Guru Mudah Dikriminalisasi?

November 25, 2025 by
Pahlawan Tanpa Perlindungan: Mengapa Guru Mudah Dikriminalisasi?
Arfiah Bakhtiar, S.Kom
| No comments yet

Dalam beberapa tahun terakhir, isu kriminalisasi guru kembali menjadi sorotan dalam diskursus pendidikan nasional. Guru yang sebelumnya dihormati sebagai pengasuh moral dan penjaga peradaban kini semakin sering berhadapan dengan pelaporan pidana. Fenomena ini menimbulkan kegamangan: apakah wibawa pendidik sedang mengalami degradasi, ataukah batas pendisiplinan memang perlu dibenahi agar tidak melampaui etika dan hukum?

Kriminalisasi guru umumnya muncul dari situasi pendisiplinan yang dinilai berlebihan oleh orang tua atau masyarakat. Padahal, dalam banyak kasus, tindakan tersebut muncul dari kegelisahan guru melihat perilaku siswa yang mengancam ketertiban belajar. Namun di tengah berubahnya pola relasi guru-murid, tindakan yang dahulu dianggap wajar kini dapat dinilai melampaui batas.

 Kondisi ini makin rumit karena masyarakat kini semakin sadar hukum. Setiap tindakan yang menyinggung atau melukai perasaan anak bisa dianggap sebagai kekerasan, bahkan jika tidak ada niat menyakiti. Guru sering kali terjebak antara kebutuhan menegakkan disiplin dan ketakutan terhadap konsekuensi hukum. Ketegangan ini menimbulkan dilema moral, psikologis, dan profesional.

Tidak dapat dipungkiri, beberapa guru memang ada yang melakukan tindakan fisik atau verbal yang tidak lagi relevan dengan pedagogi modern. Namun, sebagian besar kasus kriminalisasi terjadi pada tindakan korektif ringan yang sebenarnya muncul dari kebutuhan menjaga tatanan kelas. Ketidakjelasan batas hukum tentang apa yang disebut sebagai “kekerasan” membuat banyak tindakan guru berada dalam area abu-abu.

Di sinilah konsep perlindungan hukum bagi guru menjadi penting. Perlindungan hukum bukan berarti memberikan kekebalan atau pembenaran atas kekerasan, melainkan memastikan bahwa proses penegakan aturan dilakukan dengan adil, proporsional, dan mempertimbangkan konteks edukatif. Guru perlu diyakinkan bahwa selama mereka berada dalam koridor profesional, mereka tidak akan diperlakukan sebagai pelaku kriminal.

Sayangnya, hingga kini regulasi khusus yang mengatur perlindungan hukum bagi guru masih belum solid. Undang-undang yang ada, seperti UU Guru dan Dosen, lebih menekankan aspek kesejahteraan dan profesionalisme, tetapi tidak cukup memberikan mekanisme konkret dalam menghadapi pelaporan pidana terkait pendisiplinan. Kekosongan ini membuat guru rentan menjadi objek kriminalisasi.

Ketika kasus pendisiplinan langsung dibawa ke ranah kepolisian, ruang dialog dan rekonstruksi konteks segera tertutup. Proses hukum yang formal dan kaku kerap mengabaikan nuansa pedagogis: relasi guru-murid, situasi kelas, intensi pendidik, dan bukti-bukti yang seharusnya diperiksa secara mendalam. Akibatnya, proses hukum sering kali berjalan timpang dan merugikan guru.

Perlindungan hukum seharusnya dimulai dari sekolah sebagai lembaga terdekat dengan situasi. Sekolah perlu memiliki mekanisme internal berupa mediasi, penelusuran fakta, dan penyelesaian restoratif sebelum perkara dibawa ke ranah hukum. Dengan cara ini, guru tidak langsung menjadi tersangka, dan orang tua pun diberi ruang untuk memahami duduk persoalan dengan lebih objektif.

Selain itu, guru harus dibekali literasi hukum agar memahami batasan dan konsekuensi dari setiap tindakan pendisiplinan. Banyak guru bertindak berdasarkan kebiasaan lama, tanpa menyadari bahwa norma hukum telah bergeser. Pelatihan manajemen kelas tanpa kekerasan, komunikasi empatik, dan penanganan perilaku bermasalah harus menjadi bagian dari pengembangan profesi berkelanjutan.

Namun, perlindungan hukum tidak boleh hanya menyasar individu guru. Negara perlu menyusun kebijakan yang lebih komprehensif, misalnya berupa peraturan pemerintah atau undang-undang khusus mengenai perlindungan pendidik. Regulasi ini harus menegaskan batas tindakan disiplin yang diperbolehkan, mekanisme penyelesaian sengketa, serta standar pembuktian dalam kasus dugaan kekerasan oleh guru.

Poin penting lain adalah memberikan ruang bagi konsep restorative justice dalam konflik guru–orang tua–siswa. Pendidikan sejatinya bertujuan memperbaiki perilaku, bukan menghukum. Maka, penyelesaian berbasis dialog, klarifikasi, dan pemulihan hubungan jauh lebih sesuai dengan nilai pendidikan daripada kriminalisasi yang menghancurkan karier pendidik dan kepercayaan siswa.

Di sisi lain, orang tua juga perlu diajak memahami proses pendidikan secara lebih mendalam. Tidak semua tindakan tegas guru berarti kekerasan. Banyak nilai hidup—disiplin, ketertiban, tanggung jawab, dan tahan banting—muncul dari ketegasan guru. Jika setiap tindakan keras ditafsir sebagai ancaman, maka sekolah akan kehilangan fungsi pentingnya sebagai ruang pembentukan karakter.

Risiko terbesar dari kriminalisasi tanpa batas adalah tergerusnya wibawa guru. Jika guru takut bertindak, maka kelas menjadi liar, moral siswa melemah, dan pendidikan karakter tidak berjalan. Bahkan, generasi muda bisa tumbuh tanpa pedoman yang kuat karena figur otoritatif di depan kelas kehilangan daya mendidiknya.

Maka dari itu, perlindungan hukum bagi guru adalah investasi moral bangsa. Guru yang terlindungi akan lebih percaya diri mendidik generasi muda dengan ketegasan yang manusiawi dan proporsional. Sebaliknya, guru yang selalu cemas akan memilih diam dan pasrah. Dan diamnya guru adalah pertanda matinya pendidikan karakter.

Pada akhirnya, Indonesia membutuhkan sistem yang menyeimbangkan dua hal: melindungi anak dari kekerasan, tetapi juga melindungi guru dari kriminalisasi yang tidak proporsional. Hanya dengan keseimbangan inilah sekolah dapat kembali menjadi ruang aman untuk membangun masa depan bangsa. Perlindungan hukum bagi guru bukan semata-mata kebutuhan profesi, melainkan fondasi moral untuk melahirkan generasi yang berkarakter, beretika, dan siap menghadapi tantangan zaman.


Oleh: Prof. Dr. Rahmawati, M.Ag (Dekan Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum Islam, IAIN Parepare)

Sign in to leave a comment